BUKIT DUA PENJURU



Hijau mulai pudar ketika kabut bersekongkol mengusir kedamaian sesaat setelah langit menumpahkan tangisnya. Seperti hatiku yang telah dilucuti kehampaan serupa perasaan langit, saat aku kembali memandangi bukit dua pohon tempat kita beradu dulu. Aku terpaku pada kenangan yang jelas terekam di ujung sana, di antara hamparan ilalang yang nampak memutih dan bergoyang syahdu, tempat tawa dan canda berpendar. Aku harap kau ingat semua itu, disaat kita beruntai memandangi kedua pohon di dekat bukit yang nampak mengalun lirih penuh kerindangan.
Di sinilah tempat kita mengejar hujan, mengukir waktu dan memadu kasih layaknya sepasang merpati yang sedang kasmaran, disaat kau sering menemaniku untuk menikmati senja menghadap barat, tepat diantara kedua pohon itu bertahta. Bahkan kau juga telah mengajakku untuk mengukir nama kita di tubuh pohon itu. Alvent & April.
Bukit ini telah melekat, bahkan telah akrab dengan kedatangan kita. Apalagi kedua pohon itu. Adalah palem yang berada di sebelah kiri yang kerap kita jadikan peneduh terik dan hujan. Serta randu inilah tempat kita mengadu, saat suka maupun duka, hingga sekejap bibirku mampu menyentuh kelembutanmu.
Sampai kita melangkah ke pelaminan, rasanya palem dan randu itu merasa iri dan tersenyum malu melihat kita mengikat janji. Saat kita bergenggam erat, sementara kini ku menggenggam kesunyian. Mungkin sekarang aku telah tertipu sebuah perbedaan. Perbedaan yang ku anggap adalah sama, layaknya kedua pohon itu yang kini menempel dan menyatu. Lantas kau menginginkan perceraian karena ibu yang melarang kita bersatu karena perbedaan keyakinan.
Kau tak kuasa, kau menggugatku dan kembali ke negeri serambi mekkahmu. Kau paksa batinku untuk berpisah, agar kedamaian berlabuh mesti tak saling memiliki. Itu katamu. Hingga tak mampu lagi kuciptakan kebahagiaan di antara kita, saat ibu mulai sibuk mencarikan jodoh untukku di hadapanmu. Aku bagaikan layang-layang yang sering terselip di antara pohon randu, terlilit dan sobek termakan usia, kala kau berkata "Cerai!" dengan nanar di raut wajahmu.

Ini hari ke seratus sembilan aku telah bersamanya, wanita penggantimu pilihan ibu, yang kini telah berstatus sebagai istriku. Terlebih saat ibu berpulang ke surga, aku bagai pesakitan yang menunggu kebebasan. Ah, mungkin aku satu-satunya lelaki lemah yang ada di dunia ini.
Wanita itu membinasakanku, sungguh. Hingga jinggaku seperti terlucut sembilu di ujung jengkal nafasku. Ingin ku bakar tubuhku hingga menjadi abu, lantas ku layangkan di atas bukit itu agar terhembus ke setiap penjuru, saat ku mendengar bisikan lirih istriku.
"Aku butuh uang, bukan lelaki lemah sepertimu" tepat disamping peti mendiang ibu.

*****
BIODATA PENGARANG
Khoirul Imam adalah penulis muda yang baru menggeluti dunia pena sejak setahun belakangan ini. Penggila berat bulutangkis ini lahir di Kota Batik, 5 Maret 1994 yang berasal dari keluarga sederhana. Bakat menulisnya terlahir saat mengikuti kompetisi LMCR 2010 yang merupakan titik awal karirnya di dunia kepenulisan.
No. HP            : 085726858685
Email               : i_khoirul@rocketmail.com
Alamat            : Jalan Wiroto No. 117 Dadirejo Barat, Kec. Tirto, Kab. Pekalongan,

  Jawa Tengah 51151

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kekuatan batin :D

Antara Kepo dan Ta'aruf